Kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia
1.Pembantaian
di Indonesia 1965–1966
Pembantaian di Indonesia
1965–1966 adalah peristiwa pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh
komunis di Indonesia pada masa setelah terjadinya Gerakan 30 September
(G30S/PKI) di Indonesia. Diperkirakan lebih dari setengah juta orang dibantai
dan lebih dari satu juta orang dipenjara dalam peristiwa tersebut. Pembersihan
ini merupakan peristiwa penting dalam masa transisi ke Orde Baru: Partai
Komunis Indonesia (PKI) dihancurkan, pergolakan mengakibatkan jatuhnya presiden
Soekarno, dan kekuasaan selanjutnya diserahkan kepada Soeharto.
Tragedi kemanusiaan ini
berawal dari konflik internal dalam tubuh Angkatan Darat yang muncul sebagai
akibat kesenjangan perikehidupan antara tentara prajurit dengan tentara
perwira. Konflik laten dalam tubuh Angkatan Darat yang sudah dimulai sejak 17
tahun sebelumnya, kemudian mendapatkan jalan manifestasinya ketika muncul isu
tentang rencana Kudeta terhadap kekuasaan Soekarno yang akan dilancarkan oleh
Dewan Jenderal. Perwira-perwira Angkatan Darat yang mendukung kebijakan
Sosialisme Soekarno kemudian memutuskan untuk melakukan manuver (aksi)
polisionil dengan menghadapkan tujuh orang Jendral yang diduga mengetahui
tentang Dewan Jendral ini ke hadapan Soekarno. Target operasi adalah menghadapkan
hidup-hidup ketujuh orang Jendral tersebut. Fakta yang terjadi kemudian adalah
tiga dari tujuh orang Jendral yang dijemput paksa tersebut, sudah dalam keadaan
anumerta.
Soeharto yang paling awal
menuduh PKI menjadi dalang dari peristiwa pagi hari Jumat tanggal 01 Oktober
1965 tersebut. Tanpa periksa dan penyelidikan yang memadai, Soeharto mengambil
kesimpulan PKI sebagai dalang hanya karena Kolonel Untung —yang mengaku menjadi
pimpinan Dewan Revolusi (kelompok tandingan untuk Dewan jendral)— memiliki
kedekatan pribadi dengan tokoh-tokoh utama Biro Chusus Partai Komunis
Indonesia. Hasil akhirnya adalah Komunisme dibersihkan dari kehidupan politik,
sosial, dan militer, dan PKI dinyatakan sebagai partai terlarang.
Pembantaian dimulai pada
Januari 1966 seiring dengan maraknya aksi demonstrasi mahasiswa yang digerakkan
oleh Angkatan Darat melalui Jendral Syarif Thayeb dan memuncak selama kuartal
kedua tahun 1966 sebelum akhirnya mereda pada awal tahun 1967 (menjelang
pelantikan Jendral Soeharto sebagai Pejabat Presiden). Pembersihan dimulai dari
ibu kota Jakarta, yang kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Timur, lalu Bali.
Ribuan vigilante (orang yang menegakkan hukum dengan caranya sendiri) dan
tentara angkatan darat menangkap dan membunuh orang-orang yang dituduh sebagai
anggota PKI. Meskipun pembantaian terjadi di seluruh Indonesia, namun
pembantaian terburuk terjadi di basis-basis PKI di Jawa Tengah, Timur, Bali,
dan Sumatera Utara.
Usaha Soekarno yang ingin
menyeimbangkan nasionalisme, agama, dan komunisme melalui Nasakom telah usai.
Pilar pendukung utamanya, PKI, telah secara efektif dilenyapkan oleh dua pilar
lainnya-militer dan Islam politis dan militer berada pada jalan menuju
kekuasaan. Pada Maret 1967, Soekarno dicopot dari kekuasaannya oleh Parlemen
Sementara, dan Soeharto menjadi Pejabat Presiden. Pada Maret 1968 Soeharto
secara resmi ditetapkan menjadi Presiden oleh MPRS yang diketuai oleh Jendral
Abdul Harris Nasution (yang memang sengaja Soeharto tempatkan setelah menangkap
dan memenjarakan seluruh pimpinan MPRS yang notabene adalah tokoh-tokoh PKI dan
tokoh-tokoh Soekarnois).
Pembantaian ini hampir
tidak pernah disebutkan dalam buku sejarah Indonesia, dan hanya memperoleh
sedikit perhatian dari orang Indonesia maupun warga internasional. Penjelasan
memuaskan untuk kekejamannya telah menarik perhatian para ahli dari berbagai
prespektif ideologis. Kemungkinan adanya pergolakan serupa dianggap sebagai
faktor dalam konservatisme politik "Orde Baru" dan kontrol ketat
terhadap sistem politik. Kewaspadaan terhadap ancaman komunis menjadi ciri dari
masa kepresidenan Soeharto. Di Barat, pembantaian dan pembersihan ini
digambarkan sebagai kemenangan atas komunisme pada Perang Dingin.
2.Kasus Petrus tahun 1982-1985
Penembakan misterius atau
sering disingkat Petrus adalah suatu operasi rahasia dari Pemerintahan Suharto
pada tahun 1980-an untuk menanggulangi tingkat kejahatan yang begitu tinggi
pada saat itu. Operasi ini secara umum adalah operasi penangkapan dan
pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan
ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tak
jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah "petrus"
(penembak misterius).
Petrus berawal dari
operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982, Soeharto
memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton Soedjarwo
atas keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat. Pada
Maret tahun yang sama, di hadapan Rapim ABRI, Soeharto meminta polisi dan ABRI
mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas. Hal
yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982.
Permintaannya ini disambut oleh Pangopkamtib Laksamana Soedomo dalam rapat
koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI
Jakarta di Markas Kodam Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu
diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian
diikuti oleh kepolisian dan ABRI di masing-masing kota dan provinsi lainnya.
Pada tahun 1983 tercatat
532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Pada Tahun
1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985
tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Para korban Petrus
sendiri saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat.
Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir
jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola pengambilan
para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat
keamanan. Petrus pertama kali dilancarkan di Yogyakarta dan diakui terus
terang M Hasbi yang pada saat itu menjabat sebagai Komandan Kodim 0734 sebagai
operasi pembersihan para gali (Kompas, 6 April 1983). Panglima Kowilhan II
Jawa-Madura Letjen TNI Yogie S. Memet yang punya rencana mengembangkannya.
(Kompas, 30 April 1983). Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan di berbagai kota
lain, hanya saja dilaksanakan secara tertutup.
Masalah Petrus waktu itu memang jadi berita hangat, ada yang pro dan
kontra, baik dari kalangan hukum, politisi sampai pemegang kekuasaan. Amnesti
Internasional pun juga mengirimkan surat untuk menanyakan kebijakan pemerintah
Indonesia ini.
3.Kerusuhan Mei 1998
Kerusuhan Mei 1998 adalah
kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di Indonesia pada 13
Mei-15 Mei 1998, khususnya di Ibu Kota Jakarta namun juga terjadi di beberapa
daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh
tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan
terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Dan penurunan jabatan Presiden Soeharto
Pada kerusuhan ini banyak
toko dan perusahaan dihancurkan oleh amuk massa—terutama milik warga Indonesia
keturunan Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Medan
dan Surakarta. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan
mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan diperkosa
beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan
tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan
Indonesia. Tak hanya itu, seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di
bawah Romo Sandyawan, bernama Ita Martadinata Haryono, yang masih seorang siswi
SMU berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa, dan dibunuh karena aktivitasnya.
Ini menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam Kerusuhan ini
digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis.
Amuk massa ini membuat
para pemilik toko di kedua kota tersebut ketakutan dan menulisi muka toko
mereka dengan tulisan "Milik pribumi" atau "Pro-reformasi".
Sebagian masyarakat mengasosiasikan peristiwa ini dengan peristiwa
Kristallnacht di Jerman pada tanggal 9 November 1938 yang menjadi titik awal
penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi dan berpuncak pada pembunuhan massal
yang sistematis atas mereka di hampir seluruh benua Eropa oleh pemerintahan
Jerman Nazi.
Sampai bertahun-tahun
berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap
nama-nama yang dianggap kunci dari peristiwa kerusuhan Mei 1998. Pemerintah
mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan bahwa bukti-bukti konkret tidak dapat
ditemukan atas kasus-kasus pemerkosaan tersebut, namun pernyataan ini dibantah
oleh banyak pihak.
Sebab dan alasan
kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari
ini. Namun umumnya masyarakat Indonesia secara keseluruhan setuju bahwa
peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara
beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan
pembasmian (genosida) terhadap orang Tionghoa, walaupun masih menjadi
kontroversi apakah kejadian ini merupakan sebuah peristiwa yang disusun secara
sistematis oleh pemerintah atau perkembangan provokasi di kalangan tertentu
hingga menyebar ke masyarakat.
4.Terbunuhnya aktivis HAM Munir Said Thalib
Dengan nama lengkap Munir
Said Thalib, (alm) Munir lahir di Malang, Jawa Timur pada 8 Desember 1965 dan
meninggal pada 7 September 2004 di pesawat Garuda Jakarta-Amsterdam yang
transit di Singapura. Ia meninggal karena terkonsumsi racun arsenik dalam
penerbangan menuju Belanda untuk melanjutkan studi masternya di bidang hukum.
Pria keturunan Arab lulusan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini merupakan
seorang aktivis dan pejuang HAM Indonesia. Ia dihormati oleh para aktivitis, LSM,
hingga dunia internasional.
Tanggal 16 April 1996,
Munir mendiriikan Komosi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS)
serta menjadi Koordinator Badan Pekerja di LSM ini. Di lembaga inilah nama
Munir mulai bersinar, saat dia melakukan advokasi terhadap para aktifis yang
menjadi korban penculikan rejim penguasa Soeharto. Perjuangan Munir tentunya
tak luput dari berbagai teror berupa ancaman kekerasan dan pembunuhan terhadap
diri dan keluarganya. Usai kepengurusannya di KontraS, Munir ikut mendirikan
Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia, Imparsial, di mana ia menjabat
sebagai Direktur Eksekutif.
Tiga jam setelah pesawat
GA-974 take off dari Singapura, awak kabin melaporkan kepada pilot Pantun
Matondang bahwa seorang penumpang bernama Munir yang duduk di kursi nomor 40 G
menderita sakit. Munir bolak balik ke toilet. Pilot meminta awak kabin untuk
terus memonitor kondisi Munir. Munir pun dipindahkan duduk di sebelah seorang
penumpang yang kebetulan berprofesi dokter yang juga berusaha menolongnya.
Penerbangan menuju Amsterdam menempuh waktu 12 jam. Namun dua jam sebelum
mendarat 7 September 2004, pukul 08.10 waktu Amsterdam di Bandara Schipol
Amsterdam, saat diperiksa, Munir telah meninggal dunia.
Pada tanggal 12 November
2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik Belanda)
menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga
dikonfirmasi oleh polisi Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah meracuni
Munir, meskipun ada yang menduga bahwa oknum-oknum tertentu memang ingin
menyingkirkannya.
5. Kasus Pembunuhan Marsinah
Marsinah adalah salah
seorang karyawati PT. Catur Putera Surya yang aktif dalam aksi unjuk rasa
buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain
terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993
di Tanggulangin, Sidoarjo.
3 Mei 1993, para buruh
mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun
tangan mencegah aksi buruh.
4 Mei 1993, para buruh
mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan
upah pokok dari Rp1.700 per hari menjadi Rp2.250. Tunjangan tetap Rp550 per hari
mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.
Sampai dengan tanggal 5
Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa
dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan
karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
Siang hari tanggal 5 Mei,
tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando
Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan
diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan
masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan
keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu,
sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.
Mulai tanggal 6,7,8,
keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya
ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.
6. Bom Bali
Bom Bali 2002 (disebut
juga Bom Bali I)adalah rangkaian tiga peristiwa pengeboman yang terjadi pada
malam hari tanggal 12 Oktober 2002. Dua ledakan pertama terjadi di Paddy's Pub
dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali, sedangkan ledakan terakhir
terjadi di dekat Kantor Konsulat Amerika Serikat, walaupun jaraknya cukup berjauhan.
Rangkaian pengeboman ini merupakan pengeboman pertama yang kemudian disusul
oleh pengeboman dalam skala yang jauh lebih kecil yang juga bertempat di Bali
pada tahun 2005. Tercatat 202 korban jiwa dan 209 orang luka-luka atau cedera,
kebanyakan korban merupakan wisatawan asing yang sedang berkunjung ke lokasi
yang merupakan tempat wisata tersebut. Peristiwa ini dianggap sebagai peristiwa
terorisme terparah dalam sejarah Indonesia.
Komentar
Posting Komentar